Perikatan penilaian
PERJANJIAN KERJA PENILAIAN DAN MEKANISME PELAKSANAANNYA
PENDAHULULUAN
Penilaian menurut Standar Penilaian Indonesia didefinisikan sebagai proses pekerjaan untuk memberikan opini tertulis atas nilai ekonomi suatu objek penilaian sesuai dengan Standar Penilaian Indonesia. Pemberian jasa penilaian dilakukan oleh Penilai Publik sesuai dengan ketentuan standar penilaian yang berlaku dan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.01/2014 tentang Penilai Publik sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.01/2019.
Dalam menyediakan jasanya, Penilai Publik diwajibkan untuk selalu meningkatkan kompetensi yang dimilikinya, antara lain dengan mengikuti Pendidikan Profesional Lanjutan. Kepatuhan Penilai Publik atas peraturan dan standar penilaian senantiasa diawasi oleh P2PK selaku regulator agar jasa penilaian yang disediakan itu berkualitas dan mampu memenuhi harapan pengguna jasa.
Pembinaan dan pengawasan oleh Pusat Pembinaan Profesi Keuangan selaku regulator Penilai Publik telah menghasilkan temuan-temuan kesalahan Penilai Publik setiap tahunnya. Kesalahan yang sering ditemui pada tahapan penilaian, antara lain perikatan, inspeksi, penyusunan laporan penilaian, dan revisi laporan. Temuan itu telah dirangkum sebagai materi Pendidikan Profesional Lanjutan (PPL) Tahun 2022, sehingga dapat menjadi pembelajaran bagi Penilai Publik dalam memberikan jasa penilaian.
Sebelum melaksanakan penilaian, Penilai Publik terlebih dahulu harus menandatangani perikatan dengan pemberi tugas jasa (klien). Perikatan diwujudkan dalam suatu kontrak penugasan atau perjanjian kerja, yang di dalamnya tertuang Lingkup Penugasan. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok hal tertentu; dan suatu sebab yang tidak terlarang. Sepakat merupakan pertemuan antara dua kehendak. merupakan subjek hukum yang cakap berdasarkan KUHPerdata8. Untuk pemberi tugas perorangan, kecakapan secara umum dapat dilihat dari bukti identitas yang dimilikinya yaitu sudah berusia 21 tahun.
Bila kesepakatan bisa dicapai maka pokok perjanjian harus jelas dengan merumuskan masalah penilaian yang dihadapi oleh pemberi tugas. Obyek yang akan dinilai dan tujuan penilaian harus jelas agar penilai tidak salah menilai.
SPI 300 tentang Penilaian Real Poperti misalnya mensyaratkan bahwa sebelum melaksanakan tugas penilaiannya maka penilai harus memahami konstruksi hukum yang ada pada obyek penilaian. Penilai harus tahu hak atas tanah yang dinilai dan haknya itu oleh SPI 300 harus dinyatakan apakah termasuk kedalam hak yang superior (primer) atau subordinate (sekunder) sehingga jelas ruang lingkupnya.
SPI 2018 membedakan aset kedalam real properti, personal properti, perusahaan/badan usaha dan hak kepemilikan finansial. Dalam setiap jenis properti penilai harus :
• memahami metode penilaian secara utuh,
• diterapkan dengan kompeten dan
• dijelaskan dengan memuaskan
SPI 300 bertujuan memberikan panduan, menciptakan kerangka dan persyaratan untuk penilaian real properti yang akan mengharmoniskan praktek penilaian. Mengingat pentingnya memahami hak atas tanah yang menjadi focus dalam penilaian real property maka akan banyak dibahas dalam tulisan ini.
SPI mendefinisikan real estat adalah fisik tanah dan semua benda yang secara alami atau dibuat melekat kepada tanah baik di atas atau dibawah tanah. Sedang real properti adalah real estat plus seluruh hak, kepentingan dan manfaat yang berkaitan dengan kepemilikan real estat. Bila real estat dikuasai tanpa dilandasi oleh hak yang sah, nilainya terbatas pada nilai fisik yang ada dan manfaat dari penggunaan real estat tersebut, namun sewaktu-waktu terancam untuk digusur. Hak ini termasuk hak untuk tidak atau mengembangkan lahan, menyewakan, membagi, menggabungkan, untuk pembuangan sampah atau memilih untuk tidak menggunakan satupun hak tersebut.. Kombinasi dari berbagai hak itu disebut himpunan hak (bundle of rights), dan hak milik mirip dengan freehold interest atau fee simple estate di negara Common Law (butir 5.29 SPI 300). Real Property bernilai karena mempunyai nilai guna (ekonomis) : dapat dimanfaatkan dan dapat diperjual belikan menurut hukumnya : ada alas haknya.
Penerapan tehnis SPI 300 (butir 5.0) menyatakan bahwa :
- Harus dideskripsikan hak atas properti yang dinilai, jadi harus memahami konstruksi hukum/hak atas tanahnya
- Diidentifikasi apakah hak bersifat superior dan apa ada hak subordinasi misal hak sewa (5.1.1 dan 5.1.2)
- Kedalaman investigasi harus dibuktikan dengan (butir 5.2) :
- bukti tentang hak properti misal berupa sertifikat
- tingkat kedalaman inspeksi : harus dinyatakan tentang kebenaran luas tapak,
luas bangunan dan pengembangan lainnya, konfirmasi atas spesifikasi dan
kondisi pengembangan, sifat & spesifikasi utilitas bangunan, daya dukung
tanah & fondasi, risiko lingkungan aktual dan potensial
- Dalam hal prosedur di atas telah dilakukan namun tidak terpenuhi, penilai harus membuat asumsi khusus karena soil test untuk mengukur daya dukung tanah bukan kompetensi penilai.
Hak atas tanah yang termasuk dalam pengertian Real Property adalah :
• UU Pokok Agraria menyediakan berbagai jenis tanah hak sebanyak 11 jenis dan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
- Hak atas tanah primer
- Hak atas tanah sekunder
Hak atas tanah yang primer adalah hak-hak atas tanah yang bersumber langsung pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah (pasal 1 ayat (1) UUPA) dan diberikan oleh Negara adalah sebagai berikut :
A. Hak Milik (untuk keperluan pribadi).
B. Hak Guna Usaha; untuk usaha pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, agribisnis.
C. Hak Guna Bangunan; untuk mendirikan bangunan, perumahan, perkantoran, super blok, kawasan industri dan lain-lainnya.
D. Hak Pakai; selain untuk keperluan instansi pemerintah, keperluan khusus dapat pula untuk kegiatan lain seperti HGB di atas
Kemudian bagaimana dengan hak pengelolaan (HPL) yang dalam KPUP disebut sebagai hak atas tanah primer? Dari ketentuan pasal UUPokok Agraia di atas jelas tidak menyebut HPL. HPL diatur sendiri dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 40/1996.
Dalam pasal 1 angka 2 PP No. 40/1996 dirumuskan sebagai berikut :
"Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya".
Jadi tanah HPL adalah tanah negara yang disediakan bagi investor. Tanah Aset Negara terdiri dari Tanah Hak Pakai dan Tanah Hak Pengelolaan (PP No. 40/1996 )
• Tanah Hak Pakai digunakan untuk pelaksanaan tugasnya sehari- hari sebagai kantor oleh Instansi Pemerintah yang, bersangkutan selama diperlukan
• Hak Pengelolaan / HPL (jangka waktunya tidak terbatas), bukan hak atas tanah, melainkan hak yang menyediakan tanah untuk keperluan pihak lain (investor).
Untuk lebih lengkapnya maka tentang hak pengelolaan dinyatakan sebagai berikut : (pasal 1 angka 2 PP 40/1966).
Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepadapemegang haknya, yang memberikan wewenang untuk:
1. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang menjadi obyek Hak Pengelolaan, baik dikerjasamakan dalam bentuk KJO, BOT, BOO atau diserahkan kepada pihak ketiga.
2. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugas instansi pemerintah atau badan hukum/pengembang swasta (PT) yang ditunjuk oleh negara dengan HGB atau hak pakai.
3. menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak sesuai dengan ketentuan Pasal 41 sampai 43 UUPA. Misal dibuat apartemen HMSRR dijual ke masyarakat. Diserahkan kepada investor dengan HGU untuk pembangunan pabrik dsbnya.
4. menerima uang pemasukan / ganti rugi dan uang wajib tahunan.
Kewenangan pemegang HPL ditetapkan dalam pasal 3 PerMenDaGri No. 5/1974 (Baca Hukum Agraria Indonesia. jilid I oleh Profesor Boedi Harsono SH, edisi revisi tahun 1999 uraian 124. huruf G halamal7 246 dan 247). Bagian tanah HPL dapat diberikan kepada pengembang swasta (statusnya PT) dengan HGB atau Hak Pakai melalui permohonan hak kepada pejabat yang berwenang pemberian haknya oleh negara berdasarkan PMNA/KA-BPN No.9 'I'ahun 1999. Penguasaan tanah dengan hak-hak itu dapat menjadi landasan untuk perjanjian kerjasama kemitraan antara pemegang HPL dan pihak lain dalam rangka kerjasama, misalnva BOT/ BOO yang melahirkan ha katas tanah sekunder seperti HGB.
Saat ini Hak Pengelolaan diberikan kepada instansi pemerintah seperti pemkab, pemkot, pemerintah daerah administrasi (Otorita Batam), Badan Usaha Milik Negara (misalnya Perum Perumnas), dan badan hukum swasta lainnya. Hak Pengelolaan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada instansi pemerintah atau badan hukum yang ditunjuk oleh negara / pemerintah untuk melaksanakan Hak Menguasai Negara atas tanah.
Hak Pengelolaan dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan hak atas tanah primer bisa berupa hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai yang merupakan hak primer, sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan. Penyerahan penggunaan tanah hak bagian hak pengelolaan kepada pihak ketiga harus dilakukan secara tertulis antara pihak yang memegang hak pengelolaan dengan pihak ketiga tersebut. Pemberian sebagian tanah hak pengelolaan ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan UUPA, yaitu tentang siapa saja yang boleh memiliki suatu hak atas tanah.
Atas tanah-tanah yang diberikan Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu selama tanah yang dimaksud diberikan untuk kepentingan penerima hak, dengan demikian berarti waktunya tidak terbatas. Hal ini dapat terjadi karena setiap kali suatu hak itu berakhir maka Pemegang Hak Pengelolaan akan kembali mempunyai hubungan sepenuhnya kembali dengan hak-hak yang timbul dari Hak Pengelolaan tersebut.
Hak-hak yang timbul dari Hak Pengelolaan dapat diberikan untuk batas waktu:
a. Hak Milik, dpt diberikan untuk waktu yang tdk terbatas.
b. Hak Guna Bangunan, untuk jangka waktu 20 tahun
c. Hak Pakai, untuk jangka waktu 10 Tahun
Hak atas tanah yang sekunder
Hak atas tanah yang sekunder adalah hak-hak atas tanah yang diberikan diatas tanah hak milik dan bersumber secara tidak langsung pada hak bangsa Indonesia atas tanah, meliputi:
(1) Hak Guna Bangunan – HGB;
(2) Hak Pakai – HP;
(3) Hak Sewa;
(4) Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sebagai konversi dari HPL.
Hak atas tanah yang sekunder atau hak baru diberikan diatas tanah Hak Milik, yaitu HGB, HP atau Hak Sewa (diatas tanah non pertanian).
b) Hak-hak lainnya:
(1) Hak-hak lainnya yang diatur didalam UUPA:
(a) Hak Membuka Tanah;
(b) Hak Memungut Hasil Hutan;
(c) Hak Guna Air;
(d) Hak Guna Ruang Angkasa;
(e) Hak Gadai atas Tanah;
(f) Hak Usaha Bagi Hasil;
(g) Hak Menumpang (Magersari di Jawa Tengah)
Penjelasan atas hak-hak tanah yang sekunder (hak subordinate)
• Dapat pula dijadikan dasar untuk perjanjian kerjasama dalam pengembangan properti, antara developer dan pemilik tanah dengan pola BOT (win-win project).
• Untuk memenuhi kebutuhan pribadi/sendiri oleh karena itu belum bisa dimasukkan dalam kegiatan bisnis
• Hak BOT ini karena hak sekunder maka dalam penilaian dikatagorikan sebagai hak partial sehingga nilainya lebih kecil dibandingkan dengan nilai real property seluruhnya
Dalam rangka penilaian properti yang paling banyak kasusnya adalah penilaian tanah hak dan bangunan yang didirikan di atas tanah tersebut. Dalam Hukum Tanah Nasional yang bersumber pada hukum Adat (yang tidak tertulis) dan yang berlaku sejak tgl 24 September 1960 berlaku ”asas pemisahan horizontal". Bahwa pemilikan tanah tidak dengan sendirinya berikut bangunan yang didirikan di atasnya. Hal ini dapat terjadi karena bangunan yang bersangkutan didirikan oleh penyewa, yang menyewa tanah Hak Milik kepunyaan pihak lain atau prinsip magersari. Sebaliknva dapat pula terjadi bahwa pemilik tanah atau pemegang hak yang mendirikan bangunan permanen di tanah tersebut sehingga pemilikan tanah meliputi pula pemilikan bangunan di atasnya.
Mengingat bangunan permanen yang didirikan di atas sebidang tanah menurut sifatnya selalu menjadi kesatuan dengan tanahnya. Oleh karena itu tata cara memperoleh bangunan (permanen) tidak dapat dilepaskan dari tata cara memperoleh hak atas tanah hak yang ada di atasnya didirikan bangunan tersebut. Dalam praktek penerapan asas horizontal dapat diketahui melalui pembuatan Akta Jual Beli atau Pemindahan Hak maupun Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
Ternyata bahwa obyek jual beli atau obyek Hak Tanggungan selain tanah hak meliputi pula bangunan yang didirikan di atasnya, berdasarkan syarat-syarat
sebagai berikut :
a) Bangunan permanen yang bersangkutan menurut sifatnya menjadi satu kesatuan dengan tanahnya:
b) Bangunan tersebut milik pemegang hak
c) Dinyatakan secara tegas dalam akta jual belinya atau APHT bahwa obyeknya meliputi Tanah Hak dan bangunan yang didirikan di atasnya.
Penerapan asas pemisahan horizontal tersebut sejak berlakunya UU Hak Tanggungan ( UU No. 4 Tahun 1996) pada tgl 9 April 1996, telah menjadi kaidah hukum positip dan dirumuskan dalam ketentuan pasal 4 ayat 4 UUHT.
Penerapan asas pemisahan horizontal dalam praktek
Perlu ditetapkan siapa yang memiliki bangunan tersebut. Dalam rangka penilaian tanah hak berikut bangunan di atasnya terlebih dahulu perlu diketahui: Siapa yang menjadi pemilik bangunan yang bersangkutan
Apabila bangunan tersebut didirikan oleh pemegang hak atas tanah ini berarti bangunan tersebut milik pemegang hak yang bersangkutan
Apabila bangunan tersebut didirikan oleh pihak lain yaitu pemegang hak baru/ penyewa (diatas tanah hak milik) maka bangunan yang bersangkutan adalah milik yang mendirikan (pemegang hak yang bersangkutan). yaitu :
• Penyewa yang bersangkutan menyewa tanah Hak Milik kepunyaan pihak lain
• Pemegan HGB atau Hak Pemakai dimana HGB atau Hak Pakai tersebut diberikan oleh pemilik tanah di atas tanah Hak Miliknya
Dalam rangka kerjasama antara pemilik tanah dan pengembang dengan pola BOT, pengembang adalah pemilik bangunan yang didirikan di atas tanah hak keplunyaan pihak lain, sejak bangunan selesai dibangun sampai dengan masa operasionalnya selesai. Kemudian akan menjadi milik pemilik tanah setelah perjanjian kerjasama BOT tersebut selesai.
Dalam ”Turn Key Project" kontraktor menjadi pemilik bangunan yang didirikan sampai dengan pemilik proyek membayar lunas semua biava pembangunan yang diperjanjikan dan disepakati bersama antara pemilik proyek dan kontraktor.
UU NO 16 TAHUN 1985 TENTANG RUMAH SUSUN
Latar belakang diterbitkannya UU ini adalah :
• Terbatasnya ketersediaan tanah sebagai tempat mendirikan bangunan (tempat usaha atau hunian);
• Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah;
PENGERTIAN RUMAH SUSUN
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bagian bersama, benda bersama dan tanah Bersama.
Hak lain pada rumah susun adalah
• Bagian bersama adalah bagian rumah susun dimiliki secara terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun (pondasi, kolom, dinding, lift, selasar, pipa, listrik, gas, ruang umum)
• Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama (taman, parkir, tempat ibadah, tempat bermain)
• Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan (semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial)
Ketentuan pembangunan rumah susun :
• Rumah susun hanya dapat dibangun diatas tanah Hak Milik, HGB, Hak Pakai atas tanah Negara atau Hak Pengelolaan;
• Apabila dibangun diatas tanah Hak Pengelolaan maka wajib menyelesaikan status HGB diatas Hak Pengelolaan “sebelum” menjual SRS;
• Pemilik SRS harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah-bersama;
Isi dan sifat rumah susun :
• Isi hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS) meliputi :
- Hak perseorangan atas satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah;
- Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun;
- Hak bersama atas benda-benda;
- Hak bersama atas tanah;
• Sifat HMSRS
- Meskipun HMSRS merupakan hak pemilikan perseorangan dengan hak bersama,didalam hirarki hak penguasaan atas tanah pada hukum tanah nasional,HMSRS dikategorikan sebagai hak perseorangan
Jadi harus dibedakan :
• SRS = adalah keadaan secara fisik atau penguasaan secara fisik bangunan gedung bertingkat (sifat "tangibledari real properti).
• HM-SRS = penguasaan secara yuridis atas SRS secara individual dan terpisah berikut hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah hak bersama yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan (sifat "ingtangible" dari real properti).
• Yang menjadi obyek jual beli adalah HM-SRS dan selama belum terbit sertipikat HM-SRS masih berstatus sebagai penguasaan fisik atas SRS
• Millenial vilage : Pengembangan SRS/condo yang sesuai dengan budget dan preferensi gaya hidup milenial yang sedang trend yaitu dekat dengan transportasi publik, mall, café, restoran terkenal, laundry dsb. Konsep pengembangan hunian residensial yang dilengkapi dengan working space dengan akses yang terpisah karena pola kerja yang tidak terukur dan menciptakan komunitas kewirausahaan dan fasilitas pendukungnya yang berjarak walking distance selama 24 jam.
Subyek Hak Milik Atas SRS
• Perseorangan dan badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah;
• Orang asing (WNA) sesuai dengan PP No 40 tahun 1996 dan PP No 41 tahun 1996 tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
Peralihan HMSRS
• Pasal 10 UURS menyatakan bahwa HMSRS dapat beralih kepada pihak lain dengan cara pemindahan hak atau dengan cara pewarisan
Sertifikat Hak Milik atas satuan rumah susun terdiri dari :
• Salinan buku tanah dan surat ukur atas Hak Tanah Bersama-sama;
• Gambar denah tingkat rumah susun yang bersangkutan yang menunjukkan SRS yang dimiliki;
• Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama;
NILAI PERBANDINGAN PROPORSIONAL (SHARE VALUE) DALAM KEPEMILIKAN SRS
• Landasan hukum
- UU no 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun
- PP no 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun
Pengertian :
NILAI PERBANDINGAN PROPORSIONAL (SHARE VALUE) adalah Angka yang menunjukkan perbandingan antara satuan rumah susun (SRS) terhadap hak-hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, dihitung berdasarkan luas atau nilai SRS yang bersangkutan terhadap jumlah luas atau nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu penyelenggara bangunan menghitung biaya pembangunan keseluruhan untuk pertama kalinya dalam menentuan harga jualnya.
Adapun fungsinya adalah :
• Digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pemisahan dan penerbitan sertifikat Hak Milik atas SRS
• Digunakan sebagai dasar untuk menentukan hak dan kewajiban terhadap pemilikan dan pengelolaan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
• Menentukan hak suara (voting right) dari pemilik SRS
• Proporsi dana yang harus dibayar kepada pihak pengelola (management corporation)
• Hak atas keuntungan hasil penjualan tanah jika kepentingan bersama dihentikan atau tanah dijual
MAKSUD PENETAPAN NPP
• Untuk mengetahui nilai masing-masing SRS terhadap bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dalam lingkungan rumah susun secara keseluruhan.
DASAR PERHITUNGAN NPP
• PP no 4 tahun 1988 menentukan bahwa NPP dihitung berdasarkan luas atau nilai SRS yang bersangkutan terhadap jumlah luas atau nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu penyelenggaraan pembangunan pertama kali menghitung biaya pembangunan rumah susun secara keseluruhan.
FORMULASI
• Berdasarkan Luas =
- NPP = Luas Unit Satuan Rumah Susun
Jumlah Luas Unit Seluruh SRS
• Berdasarkan Nilai Bangunan
- NPP = Nilai Unit Bangunan SRS
Total Nilai Bangunan Seluruh SRS
Selanjutnya dibahas tentang penilaian dalam rangka pelaksanaan UU no.2 tahun 2012 : PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Dalam UU tersebut didefinisikan :
1. Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak, dan
2. Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.
3. Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah.
Selanjutnya juga ditetapkan pasal berikut ini :
Pasal 31
(1) Lembaga Pertanahan c.q. Kantor BPN menetapkan Penilai
Pasal 32
(1) Penilai yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) wajib bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan.
(2) Pelanggaran terhadap kewajiban Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
Ganti Kerugian oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi:
- tanah;
- ruang atas tanah dan bawah tanah;
- bangunan;
- tanaman;
- benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
- kerugian lain yang dapat dinilai.
Yang dimaksud dengan “kerugian lain yang dapat dinilai” menurut penjelasan UU no.2/2012 adalah kerugian nonfisik yang dapat disetarakan dengan nilai uang, misalnya kerugian karena kehilangan usaha atau pekerjaan, biaya pemindahan tempat, biaya alih profesi, dan nilai atas properti sisa.
Pasal 34
(1) Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
(2) Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Lembaga Pertanahan dengan berita acara.
(3) Nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti Kerugian.
Selanjutnya ketentuan UU tersebut diakomodasikan dalam SPI 306 pada pendahuluan butir 1.6 menentukan bahwa penilaian untuk keperluan ganti kerugian meliputi :
1. Ganti kerugian fisik tanah dan atau bangunan dan atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.
2. Ganti kerugian non fisik t.a. penggantian kerugian karena pelepasan hak dari pemilik tanah yang diberikan dalam bentuk uang (premium), serta kerugian lainya yang meliputi biaya transaksi, bunga (kompensasi masa tunggu), kerugian sisa tanah, dan kerugian lainnya.
Kemudian ketentuan SPI tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam petunjuk tehnisnya sebagai berikut :
• Juknis SPI 306 menyatakan bahwa Objek penilaian atau properti dalam penugasan ini diperhitungkan berdasarkan besarnya kerugian yang akan terkena kepada properti bersangkutan.
• Kerugian dimaksud terdiri dari kerugian fisik (butir 4.2.2 Juknis SPI 306.) dan kerugian non fisik (butir 4.2.3 Juknis SPI 306).
• Jadi Obyek penilaian tidak hanya diperhitungkan berdasarkan daftar nominatif, tetapi harus mengikuti ketentuan Juknis SPI 306 yang harus diperhitungkan berdasarkan kerugian yang akan terkena kepada properti yang bersangkutan.
Objek penilaian dalam penentuan kerugian fisik meliputi :
- Bangunan; dapat terdiri bangunan residensial, industri, komersil
- Tanaman; dapat terdiri dari tanaman semusim, hortikultura atau tanamankeras/tahunan
- Benda yang berkaitan dengan tanah; seperti utilitas dan sarana pelengkap
- Objek penilaian dalam penentuan kerugian non fisik meliputi :
1) Penggantian terhadap kerugian pelepasan hak dari pemilik tanah yang akan diberikan premium serta diukur dalam bentuk uang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggantian ini dapat meliputi hal-hal yang berkaitan dengan :
a. adanya potensi kehilangan pekerjaan atau kehilangan bisnis termasuk alih profesi.
b. kerugian emosional (solatium), merupakan kerugian tidak berwujud yang dikaitkan dengan pengambilalihan tanah yang digunakan sebagai tempat tinggal dari pemilik bangunan
c. Hal-hal yang belum diatur pada butir a dan b diatas seharusnya ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang terkait.
2) Biaya transaksi, dapat meliputi biaya pindah dan pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Kompensasi masa tunggu (bunga), yaitu sejumlah dana yang diperhitungkan sebagai pengganti adanya perbedaan waktu antara tanggal penilaian dengan perkiraan tanggal pembayaran ganti kerugian.
4) Kerugian sisa tanah, adalah turunnya nilai tanah akibat pengambilan sebagian bidang tanah. Dalam hal sisa tanah tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukannya, maka dapat diperhitungkan penggantian atas keseluruhan bidang tanahnya.
5) Kerusakan fisik lain, misalnya bagian bangunan yang terpotong akibat pengadaan tanah sehingga membutuhkan biaya perbaikan
Penerapan kerugian non fisik lainnya diatur sebagai berikut :
1) Bila tidak dinyatakan berbeda maka biaya transaksi dapat meliputi biaya pindah dan pengosongan, pajak/BPHTB dan biaya PPAT. Pengenaan beban kerugian tersebut :
a. Biaya pindah dan pengosongan dikenakan secara proporsional terhadap nilai kerugian fisik dari rumah tinggal, tempat usaha dan industri yang dihuni/digunakan. Tanah kosong dan tanaman tidak diperhitungkan.
b. Beban pajak/BPHTB dan biaya PPAT dikenakan secara proporsional terhadap nilai kerugian fisik dari tanah dan bangunan (al. rumah tinggal, tempat usaha, industri, perkebunan). Untuk personal properti, seperti mesin dan peralatan tidak diperhitungkan. Beban pajak tersebut diasumsikan sebagai potensi biaya yang akan timbul pada saat pengadaan properti baru di tempat lain.
2) Kompensasi masa tunggu (bunga) diperhitungkan karena adanya tenggang waktu antara tanggal penilaian (tanggal penetapan lokasi) dengan tanggal pembayaran ganti kerugian. Tambahan biaya sebesar suku bunga deposito bank pemerintah atas kerugian fisik ditambah dengan kerugian non fisik (premium mencakup solatium, beban transaksi, dan kerugian lainnya bila ada), selama 6 - 9 bulan/ sesuai dengan rencana jadwal pembayaran ganti kerugian.
3) Kerugian non fisik lainnya yang dapat diperhitungkan oleh Penilai untuk kepentingan umum, antara lain :
a. kerugian sisa tanah, dimana sisa tanah tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukannya dan terjadi penurunan nilai yang terpotong dan
b. kerusakan fisik pada bangunan membutuhkan biaya perbaikan untuk dapat berfungsi kembali.
Penggantian sisa tanah dihitung menggunakan pendekatan pasar dengan asumsi luas bidang tanah sesuai dengan sebelum terpotong. Penggantian kerusakan bangunan yang terpotong dihitung dengan pendekatan biaya.
Komponen Dasar Pembentukan Dasar Nilai Penggantian Wajar adalah :
1. Nilai pasar tanah dan bangunan sesuai HBU
2. (+) Premium atas penghunian rumah tinggal atau alih profesi
3. (+) Biaya pindah, perizinan dan pajak
4. (+) komponen masa tunggu (bunga)
5. Kerugian sisa tanah (bila ada)
6. (+) Kerusakan fisik lain (bila ada (bunga)
7. = NILAI PENGGANTIAN WAJAR
Butir 5.2 menegaskan bahwa Dasar Nilai yang digunakan adalah NPW (Fair Replacement Value), dimana nilai ini difahami sebagai nilai yang didasarkan kepada kepentingan pemilik (value to the owner).
NPW : Nilai yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah
PREMIUM PENGGANTIAN TANAH
1) Penggantian ini dapat meliputi hal-hal yang berkaitan dengan :
a. adanya potensi kehilangan pekerjaan atau kehilangan bisnis termasuk alih profesi.
b. kerugian emosional (solatium), merupakan kerugian tidak berwujud yang dikaitkan dengan pengambilalihan tanah yang digunakan sebagai tempat tinggal dari pemilik.
c. hal-hal yang belum diatur pada butir a dan b diatas seharusnya ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang terkait.
2) Biaya transaksi, dapat meliputi biaya pindah dan pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Kompensasi masa tunggu (bunga), yaitu sejumlah dana yang diperhitungkan sebagai pengganti adanya perbedaan waktu antara tanggal penilaian dengan perkiraan tanggal pembayaran ganti kerugian.
4) Kerugian sisa tanah, adalah turunnya nilai tanah akibat pengambilan sebagian bidang tanah. Dalam hal sisa tanah tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukannya, maka dapat diperhitungkan penggantian atas keseluruhan bidang tanahnya.
Obyek penilaian
• 4.1.4 Objek penilaian atau properti dalam penugasan ini diperhitungkan berdasarkan besarnya kerugian yang akan terkena kepada properti bersangkutan.
• Kerugian dimaksud terdiri dari kerugian fisik (lihat butir 4.2.2 Juknis SPI 306.) dan kerugian non fisik (lihat butir 4.2.3 Juknis SPI 306).
• Jadi Obyek penilaian tidak diperhitungkan berdasarkan daftar nominatif, tetapi harus mengikuti ketentuan Juknis SPI 306 yang harus diperhitungkan berdasarkan kerugian yang akan terkena kepada properti yang bersangkutan. Inilah yang harus jadi pedoman.
PERJANJIAN KERJA PENILAIAN DAN MEKANISME PELAKSANAANNYA